Kamis, 14 Mei 2009

Artikel Pembelajaran


Menjadi PEMBELAJAR

oleh ANDRIAS HAREFA*)

Manusia terlahir sebagai makhluk yang tidak siap menghidupi dirinya sendiri. Ia perlu orang lain, bahkan bergantung penuh pada orang lain sampai usia tertentu. Dan, masa ketergantungan manusia sampai bisa menghidupi dirinya sendiri, cukup lama. Proses persiapan itu disebut belajar. Jadi manusia terlahir sebagai mahkluk pembelajar. Dan jika ingin hidupnya bermartabat dan bermakna, manusia perlu proses pembelajaran yang berkelanjutan. Zaman berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang. Tuntutan dan beban hidup lebih kompleks. Mereka yang berhenti atau terlalu lambat belajar akan tertinggal, gagap menyikapi perubahan zaman.
Sekolah saja tidak cukup. Perlu pembelajaran nonformal. Juga pembelajaran informal dari interaksi dengan lingkungan sekitar, dengan sesama atau alam. Berbagai media komunikasi juga menambah kompleksitas pembelajaran dewasa ini. Tak pelak lagi, manusia ditantang menjadi "manusia pembelajar". Saya mendefinisikannya sebagai "....orang yang bersedia melakukan dua hal penting". Pertama, mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat terbaiknya, dengan terus mencari jawaban lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti "Siapakah aku?", "Darimanakah aku datang?"; "Kemana aku akan pergi?"; "Apakah tanggungjawabku dalam hidup ini?"; "Kepada siapa aku percaya?". Kedua, berusaha mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan diri sepenuh-penuhnya dengan menjadi dirinya sendiri dan menolak dibandingkan dengan segala sesuatu yang "bukan dirinya".
Apakah arti belajar? Peter Senge menulis, "Dengan pembelajaran kita mencipta kembali diri kita. Kita dapat melakukan sesuatu yang tak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia ini. Kita menambah kapasitas untuk mencipta, menjadi bagian dari pembentukan kehidupan". Masih menurut Senge, lewat pembelajaran kita mengalami pergeseran paradigma, shift of mind atau metanoia. Dalam agama, metanoia diartikan sebagai pertobatan karena mendapat "intuisi khusus dan pengetahuan langsung dari Tuhan". Dengan kata lain, proses pembelajaran yang paling fundamental bertumpu pada pertumbuhan imanm, ditandai dengan pertobatan terus-menerus menuju teladan Kristus.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Secara umum pembelajaran bertujuan mencipta ulang diri kita, tahap demi tahap, agar semakin manusiawi. Kita mengalami transformasi diri dari anak yang lemah, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, tak berwatak, menjadi orang dewasa, berpengetahuan, berketerampilan, berkarakter, serta saling bergantung dengan sesama (hubungan interdependen).
Stephen Tong pernah berkata, "We are created by The Creator to be creature with creativity (Kita dicipta Sang Pencipta menjadi ciptaan yang berdaya cipta)". Manusia adalah ciptaan yang mampu mencipta karya lain berdasar apa yang telah diciptakan Allah. Ini mandat besar dan luar biasa yang tidak diberikan pada ciptaan lain. Namun manusia perlu mencipta ulang dirinya dulu sesuai alasan penciptaannya, yakni "....menjadikan manusia itu menurut gambar dan rupa Kita....".
Kekristenan menegaskan bahwa pembelajaran dalam arti luas - learning, unlearning, dan re-learning - bertalian dengan pertumbuhan kasih kepada Allah dan kepada sesama, seperti diingatkan dalam Efesus 4 : 15. Hidup yang memuliakan Allah, berpusat pada Allah, menaati perintah Allah, , mengasihi Allah, dengan meneladani Kristus, merupakan tujuan pembelajaran orang kristiani.

DIMENSI PEMBELAJARAN
Menilik tujuan pembelajaran di atas, kita perlu menjadi saluran kasih dalam beberapa dimensi pembelajaran berikut :
1. Dimensi fisik-jasmaniah. Proses mencari nafkah, merupakan sesuatu yang bernilai rohani. Alkitab memuat pesan, "....jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan... ." Di bagian lain tertulis, "Tetapi jika ada seorang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang tidak beriman." Sangat penting kita belajar menafkahi hidup pribadi dan keluarga, agar tidak menjadi beban atau sandungan bagi orang lain. Orang yang bekerja keras memberitakan Firman pun berhak atas nafkah yang baik dari lembaga yang mempekerjakan mereka.
2. Dimensi sosial-emosional. Ini soal belajar kasih-mengasihi sebagai sesama. Alkitab berkata, "Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing...." (1 Korintus 13 : 1-3). Ada pula tertulis begini, "Maka hendaklah sekarang ini kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan". Mengasihi sesama harus ditunjukkan dengan tindakan nyata. Memberi waktu untuk memikirkan orang lain, menganggap orang lain penting. Menganggap kelebihan kita mungkin dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Selain itu, belajar "menerima kasih" juga perlu. Ini merupakan pengakuan atas peran sesama dan juga tanda kita mengasihi mereka; dengan mengizinkan mereka menyatakan kasih pada kita.
3. Dimensi mental-intelektual. Alkitab mencatat, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus". Juga, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu ....". Dan semua itu memiliki arah yang jelas, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia... untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya....". Proses pembelajaran harus membawa kita pada kebenaran sejati dalam Yesus. Kebenaran ini akan menyucikan pikiran, perasaan, dan kehendak kita agar tidak menyembah diri sendiri, tetapi menyembah Allah. Artinya, kita perlu belajar bertindak karena Allah dan untuk Allah. Kita perlu belajar menjadikan Allah sebagai alasan sekaligus tujuan dari segala respon kita pada kehidupan.
4. Dimensi warisan-spiritual. Alkitab menulis, "... jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu....". Pula tertulis, "..... sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diriKu bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran. Dan bukan untuk mereka ini saja aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaKu oleh doa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka". Proses pembelajaran perlu memiliki perspektif jangka panjang. Ada pekerjaan dari Allah yang perlu dituntaskan, yang dengan menuntaskannya kita mempermuliakan Allah. Kita perlu menemukan bidang tugas dan tanggungjawab hidup kita. Dan bila kita telah menemukannya, kita mengerjakannya dengan gairah dan kasih dari Allah, untuk kemuliaan Allah.

BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa pembelajaran seharusnya berlangsung seumur hidup. Apalagi jika tujuannya adalah menjadi serupa dengan Kristus, yang hanya dimungkinkan lewat iman atas karya Yesus dan kepasrahan terus menerus untuk hidup dalam pimpinan Roh Kudus. Ini jelas perjuangan seumur hidup.
Mereka yang berhenti belajar akan mengalami kemerosotan dalam hidupnya. Mereka yang tidak meningkatkan keterampilan dan pengetahuan akan terbelakang dalam pekerjaan dan pergaulan hidup - terkucil dari proses peningkatan kualitas hidup. Mereka yang berhenti membaca dan merenungkan firman Tuhan akan mandeg dann merosot imannya - seperti tubuh yang tidak diberi makan akan lemah, demikian juga jiwa dan roh yang terlantar akan lunglai dan mudah terserang badai hidup. Maka, jadilah pembelajar yang lahap. Jangan berhenti untuk semakin mengenal-mengasihi-memuliakan Allah; jangan berhenti mengasihi sesama; jangan berhenti belajar meninggalkan dosa (un-learning); dan jangan berhenti belajar memperbaharui hidup dengan pimpinan Roh Kudus (re-learning). Terpujilah Tuhan!


*) Penulis 30 Buku Laris; Pembina Yayasan Gloria; Pendiri www.pembelajar.com (Disalin dari Renungan Harian edisi Mei 2009)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Depok, Jawa Barat, Indonesia